Perbedaan Asuransi Syariah dengan Asuransi Konvensional

perbedaan asuransi

Modernis.co, Malang – Dalam kehidupan, manusia selalu dihadapkan dengan ketidakpastian dan berbagai kemungkinan risiko yang tidak disenangi  dan bersifat merugikan secara ekonomis. Segala risiko yang menimpa manusia merupakan qadha dan qadhar dari Allah SWT, namun demikian manusia terus wajib berikhtiar melakukan tindakan berjaga-jaga untuk memperkecil risiko yang ditimbulkan dari musibah dan kemalangan tersebut (Maryani, 2010:1).

Untuk mengatasi ketidakpastian yang terjadi di masa datang, maka manusia berusaha dengan sesuatu yang pasti. Untuk menciptakan suatu kepastian dalam risiko yang akan timbul mereka membuat suatu kelompok untuk saling menanggung ketika risiko tersebut menimpa salah satu anggota mereka. Salah satu tindakan yang diambil untuk menghindari risiko dalam rangka mengatur ekonomi dan keuangan tersebut adalah dengan mengadakan asuransi.

Masyarakat saat ini telah menyadari bahwa asuransi berguna untuk mengurangi risiko yang akan ditanggung apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Setelah menggunakan asuransi masyarakat dapat membuat perencanaan keuangan apabila kemungkinan terjadinya risiko telah dipersiapkan sebelumnya. Dengan demikian masyarakat dapat lebih fokus memikirkan masa depan.

Di Indonesia terdapat lembaga asuransi yang terdiri dari asuransi konvensional dan asuransi syariah. Sebenarnya kedua asuransi tersebut tidak terlalu berbeda jauh. Hanya saja ada beberapa yang hal yang bertolak belakang sehingga perlu adanya penyesuian yang dilakukan.

Definisi Asuransi menurut KUHD, tentang asuransi atau pertanggungan seumurnya, Bab 9, Pasal 246 asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian di mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.

Asuransi konvensional dimuali dari masyarakat Babilona 4.000-3.000 SM yang dikenal dengan Perjanjian Hammurabi, kemudian tahun 1668 M di Coffe House London berdirilah Lloyd Of London yang merupakan cikal bakal asuransi konvensional (Amrin, 2006: 12). Asuransi masuk ke Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Keberadaan asuransi di Indonesia merupakan akibat dari berhasilnya bangsa Belanda dalam sektor perkebunan dan perdagangan pada saat itu.

Asuransi syariah sudah dikenal sejak zaman Rasulullah yang dikenal dengan sistem Al-aqilah. Sistem ini merupakan suatu kebiasaan suku Arab sebelum Islam datang yang kemudian disahkan oleh Rasulullah sebagai hukum Islam yang dibuat oleh Rasulullah dalam bentuk konstitusi pertama di dunia, yang disebut konstitusi pertama di dunia, yang disebut Konstitusi Madinah (Amrin, 2006: 11).

Asuransi syariah di Indonesia diawali pada tahun 1994. Pada saat itu, TP. Syarikat Takaful Indonesia berdiri pada 24 Februari 1994. Berdirinya lembaga ini dimotori oleh Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia. Perkembangan bisnis asuransi syariah menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Hal tersebut ditandai dengan meningkatnya jumlah pemegang polis asuransi syariah dan dana premi yang terkumpul cukup signifikan.

Masyarakat mulai menyadari pentingnya perlindungan yang memberikan rasa nyaman secara lahir dan batin yang dilakukan dengan berlandaskan syariah. Kemajuan transaksi bisnis asuransi syariah seharusnya diimbangi dengan sistem pencatatan yang benar, adil, dan transparan sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan hingga kepada Allah SWT.

Asuransi konvensional adalah produk asuransi dengan prinsip jual beli risiko. Nasabah dikenakan premi untuk mendapatkan imbalan berupa proteksi atas risiko yang mungkin terjadi (dalam bentuk kesehatan atau jiwa). Dengan tujuan utama yaitu murni bisnis. Seperti kebanyakan bisnis lain tujuan tersebut adalah untuk mendapatkan profit yang besar.

Hal ini terlihat dari dana yang diperoleh dari premi nasabah, semuanya menjadi pemiliki perusahaan. Sistem akuntansi pada asuransi konvensional menggunakan accrual basis, yaitu mengakui ketika terjadinya suatu transaksi tanpa mempedulikan adanya aliran kas masuk ataupun keluar. Menurut Sula (2004: 397), dalam praktik akuntansi konvensional, premi asuransi diakui sebagai pendapatan, walaupun premi asuransi belum dibayarkan.

Pada praktik asuransi konvensional beban retakaful yang terjadi selama masa perjanjian diakui sebagai asuransi awal yang dikover. Menurut Sula (2004: 399), Akuntansi asuransi konvensional dana asuransi yang terhimpun akan dikelola untuk kepentingan bisnis perusahaan. Keuntungan yang diperoleh akan dinikmati oleh perusahaan dan pemegang saham serta keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan asuransi diakui sebagai laba perusahaan.

Sedangkan asuransi syariah adalah sistem saling memikul risiko di antara sesama perserta, sehingga yang satu dengan yang lainnya menjadi penanggung diatas risiko yang muncul dengan prinsip saling tolong-menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing menghibahkan dana tabarru atau dana kebajikan.

Tujuan utamanya bukanlah untuk mendapatkan laba yang besar. Tujuan utama asuransi syariah adalah mencari keuntungan untuk meningkatkan kesejahteraan dan perjuangan umat. Hal ini terlihat dari visi dan misi yang diemban oleh asuransi syariah, yaitu : misi aqidah, misi ibadah, misi isqhtishodi, dan misi keumatan.

Sistem akuntansi pada asuransi syariah menggunakan cash basis, yaitu mengakui pendapatan dan beban saat kas sudah benar-benar masuk ataupun keluar atau mengakui apa yang benar-benar dimiliki perusahaan. Penetapan bentuk akad akan berdampak langsung pada sistem akuntansi yang diterapkan dalam asuransi syariah.

Akad adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih. Ada dua akad dalam akuntansi syariah, yaitu akad mudharabah dan akad wakalah. Akad mudharabah ada pemisahan pengelolaan dana antara dana pemegang saham dengan peserta asuransi. Dana yang dikelola oleh operator merupakan milik peserta dan dana tersebut tidak dapat dipergunakan untuk kepentingan pemegang saham.

Sistem akuntansi yang digunakan harus dipisahkan antara akuntansi dana pemegang saham dan peserta asuransi. Akad wakalah tidak terdapat pemisahan pengelolaan dana seperti pada akad mudharabah. Perusahaan menerima dana tabarru dari peserta dan dana tersebut dapat dipergunakan untuk semua kegiatan perusahaan.

Dana yang diperoleh dari pemegang saham dan dari peserta asuransi dapat dicampur sehingga tidak harus dipisahkan antara akuntansi pemegang saham dan peserta asuransi. Premi asuransi syariah terdiri atas dua unsur yaitu tabungan dan tabarru. Tabarru adalah derma kebajikan atau iuran kebajikan yang telah diniatkan oleh peserta untuk dana tolong-menolong apabila ada peserta lain yang terkena musibah (Anwar, 2007:36).

Dana tersebut tidak dapat digunakan sebagai biaya komisi agen dan uang jalan bagi agen. Jika peserta, mengundurkan diri, uang premi akan dikembalikan sepenuhnya, kecuali dana tabarru. Premi asuransi benar-benar diakui sebagai pendapatan jika diterima secara tunai.

Dalam asuransi syariah, angsuran atau premi dan laba dari investasi benar-benar diakui sebagai pendapatan jika perusahaan telah menerimanya secara tunai serta dalam akuntansi asuransi syariah beban retakaful selama masa perjanjian diakui sebagai utang sampai angsuran atau premi takaful tersebut dibayarkan dan beban retakaful diakui sebagai pendapatan apabila dibayar lebih awal.

Menurut Sula (2004: 398), Akuntansi asuransi syariah apabila terdapat keuntungan dibagikan berdasarkan rasio pembagian keuntungan yang telah disepakati antara perusahaan dan peserta.

Prinsip Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah, Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, asuransi konvensional memiliki 6 prinsip dasar yang digunakan yaitu :

  1. Insurable interest adalah hak mengasuransikan yang timbul dengan adanya hubungan keuangan antara yang tertanggung dan obyek pertanggungan serta dilindungi hukum atau sah menurut hukum yang berlaku.
  2. Utmost good faith adalah kedua belah pihak yang terlibat dalam asuransi secara timbal balik harus didasari kesepakatan asuransi dengan itikad yang baik.
  3. Proximate cause merupakan prinsip yang berkaitan dengan masalah yang akan timbul jika terjadi peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian-kerugian bagi pihak yang tertanggung.
  4. Indemnity merupakan metode dan sistem yang diperlukan dalam proses penggantian kerugian. Subrogation merupakan prinsip yang berhubungan dengan keadaan ketika kerugian yang dialami tertanggung akibat dari pihak ketiga (orang lain).
  5. Contribution berarti ketika perusahaan asuransi telah membayar ganti rugi kepada pihak tertanggung, maka perusahaan berhak menuntut perusahaan asuransi lain yang terlibat ke dalam obyek tersebut untuk membayar kerugian sesuai dengan prinsip contribution.

Prinsip yang dijadikan pegangan dalam akuntansi Islami adalah prinsip pertanggungjawaban atau akuntabilitas, keadilan, transparan, dan kejujuran (amanah) (Amrin, 2009:7). Apabila penerapan akuntansi tidak dilandasi kejujuran dan transparansi maka akan terjadi rekayasa dan kecurangan.

Hal ini akan bertentangan dengan prinsip akuntansi Islami. Yaitu menurut PSAK 108 tentang akuntansi transaksi asuransi syariah par 8, prinsip dasar dalam asuransi syariah adalah saling tolong menolong (ta’awun) dan saling menanggung (takaful) antara sesama peserta asuransi. Tolong menolong dalam bahasa Al-Quran disebut ta’awun adalah inti dari semua prinsip dalam asuransi syariah (Sula, 2004:229).

Menurut Djoko Kristianto (2009) dalam jurnalnya yang berjudul “Implikasi Akuntansi Syariah dan Asuransi Syariah dalam Lembaga Keuangan Syariah,”prinsip-prinsip asuransi syariah adalah sebagai berikut; (1) prinsip berserah diri dan ikhtiar; (2) prinsip tolong menolong; (3) prinsip saling bertanggung jawab; (4) prinsip saling melindungi dari berbagai kesusahan; (5) prinsip itikad baik; (6) prinsip kepentingan terasuransikan; (7) prinsip penyebab dominan; (8) prinsip ganti rugi; (9) prinsip subrogasi; dan (10) prinsip kontribusi.

PSAK yang digunakan dalam asuransi konvensional dan syariah pun berbeda. Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia telah mensahkan dan menerbitkan 3 PSAK untuk asuransi konvensional antara lain:

  1. PSAK 62 tentang kontrak asuransi diadopsi dari IFRS 4 tentang Insurance Contract ini mempunyai tujuan untuk mengatur pelaporan keuangan kontrak asuransi oleh setiap entitas yang menerbitkan kontrak asuransi.
  2. PSAK 28 tentang akuntansi kontrak asuransi kerugian pengaturannya melengkapi PSAK 62. Oleh sebab itu, untuk asuradur yang memiliki kontrak asuransi kerugian harus menerapkan persyaratan dalam PSAK 28 dan juga menerapkan PSAK 62.
  3. PSAK 36 tentang akuntansi kontrak asuransi jiwapengaturannya melengkapi PSAK 62. Oleh sebab itu, untuk asuradur yang memiliki kontrak asuransi jiwa harus menerapkan persyaratan dalam PSAK 28 dan juga menerapkan PSAK 62.

Untuk asuransi syariah Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia telah mensahkan dan menerbitkan 2 PSAK antara lain:

  1. PSAK 108 tentang akuntansi transaksi asuransi syariah. Menurut PSAK 108 tentang akuntansi transaksi asuransi syariah par 1, pernyataan tersebut bertujuan untuk mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi asuransi syariah.
  2. PSAK 101 tentang penyajian laporan keuangan syariah. Menurut PSAK 101 tentang penyajian laporan keuangan syariah par 1, pernyataan ini menetapkan dasar bagi penyajian laporan keuangan bertujuan umum untuk entitas syariah yang selanjutnya disebut „laporan keuangan‟ agar dapat dibandingkan baik dengan laporan keuangan periode sebelumnya maupun dengan laporan keuangan entitas syariah lain. Pernyataan ini mengatur persyaratan bagi penyajian laporan keuangan, struktur laporan keuangan, dan persyaratan minimal isi laporan keuangan.

Perbedaan paling utama antara asuransi syariah dan asuransi konvensional adalah dari konsep pengelolaannya. Proteksi syariah memiliki konsep pengelolaan Sharing Risk sedangkan Asuransi Konvensional (Non Syariah) Transfer Risk.

Konsep pengelolaan asuransi konvensional berupa Transfer Risk adalah perlindungan dalam bentuk pengalihan risiko ekonomis atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan ke perusahaan asuransi sebagai penanggung risiko. Atau dengan kata lain peserta dengan membeli atau bergabung sebagai peserta asuransi konvensional akan ditanggung risiko ekonomisnya oleh perusahaan asuransi.

Sedangkan Sharing Risk yang merupakan pengelolaan asuransi syariah adalah konsep di mana para peserta memiliki tujuan yang sama yakni tolong menolong, yakni melalui investasi aset atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu menggunakan akad yang sesuai dengan syariah yang diwakilkan pengelolaannya ke Perusahaan Asuransi Syariah dengan imbalan ujrah.

Dari penjelasan di atas asuransi konvensional lebih berisiko dari pada asuransi syariah, dilihat dari prinsip asuransi konvensional yang hanya berfokus pada keuntungan perusahaan sedangkan untuk asuransi syariah berprinsip  tolong menolong (takaful/ta’awun) di mana setiap peserta berkontribusi untuk menolong peserta lain dalam kebajikan serta memberikan rasa aman ketika terjadi risiko di antara peserta.

Oleh karenanya, proteksi syariah dapat memperkuat rasa kepedulian, persaudaraan, dan gotong royong bagi para peserta dalam konsep sharing risk. Jadi asuransi syariah adalah lembaga yang tepat dan aman serta menguntungkan untuk melakukan asuransi.

Oleh: Putri Regita Pricilia (Mahasiswa Akutansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment